Berbobot hampir 2.600 kg, mobil kekar yang nongkrong di pinggir kota Detroit tempat pabrik mobil DaimlerChrysler itu terlihat bukan seperti "mobil masa depan". Lekuk-lekuknya masih mengingatkan mobil buatan akhir abad ke-20. Begitu memasuki kabin, nuansa kendaraan sport (SUV, sport utility vehicle) pun langsung terasa. Akan tetapi, bukalah kap mesinnya. Hoopla…!
Jeroan kendaraan yang dinamai Commander II ini ternyata tidak seperti kendaraan SUV umumnya. Di tempat mesin pembakar terdapat pengilang terpadu – sistem prosesor bahan bakar dari gas bertekanan tinggi, kompresor, dan reaktor kimia yang mengubah metanol menjadi gas hidrogen. Gas hidrogen ini menjadi menu utama bagi dua tumpukan sel bahan bakar (fuel cell). Sel ini menggabungkan hidrogen dan oksigen di dalam reaksi kimia sehingga dihasilkan listrik yang bisa menjalankan SUV tadi ke jalan raya.
Pengoperasian mobil ini bersih dan efisien. Hanya menghasilkan air, karbondioksida, dan panas. Tak ada polutan udara dan jelaga seperti kendaraan konvensional. Pembuatnya, DaimlerChrysler dan rekannya – pengembang fuel cell dari Kanada, Ballard Power System, serta saingan Daimler, Ford Motor Co. – percaya bahwa kendaran ini memiliki kekuatan dan kinerja yang setara dengan kendaraan yang digunakan saat ini.
Keajaiban membran
Dibanding mobil listrik maupun hibrida, mobil fuel cell ini lebih menarik untuk dikembangkan. Ia bebas listrik yang berasal dari tenaga baterai sehingga membuatnya menjadi mobil terbersih di jalanan saat ini. Memang, mobil bertenaga baterai begitu responsif, hampir tak bersuara karena tak ada bunyi dari piston. Akan tetapi jangkauannya masih terbatas.
Untuk memperluas jangkauan itu, salah satu cara adalah dengan membawa bahan bakar yang bisa menghasilkan listrik onboard. Pendekatan inilah yang dilakukan oleh mobil hibrida listrik–bensin seperti Toyota Prius. Prius memakai mesin pembakaran yang kecil dan efisien, ditambah setumpukan baterai yang mendukung mesin selama akselerasi dan menyerap daya dari roda ketika mengerem. Masalahnya, teknologi ini rumit dan mahal karena menggabungkan teknologi pendorong listrik dan mekanis.
Nah, menyusul pengembangan mobil hibrida listrik-bensin, yang ternyata cukup rumit dan mahal karena menggabungkan teknologi pendorong listrik dan mekanis, terpikirlah tentang fuel cell. Tidak seperti baterai yang menyimpan muatan, fuel cell menghasilkan listrik saat mobil berjalan. Cukup menggotong bahan bakar, dan fuel cell akan mengantar mobil Anda ke mana pun pergi.
Ada banyak bahan bakar dan material yang dapat dipakai dalam sistem ini. Namun yang menjadi pilihan favorit adalah proton exchange membrane (PEM). Sel PEM ini padat dan kompak serta bisa dioperasikan pada temperatur yang relatif "dingin", 80o C. Jantung dari sel PEM ini adalah membran plastik elastis yang dilapisi katalis platinum. Katalis ini memisahkan gas hidrogen menjadi proton dan elektron; hanya proton yang bisa melewati membran. Elektron "berkeliaran" di sekitar membran, menghasilkan arus listrik yang berguna sebelum bergabung kembali dengan proton dan oksigen di sisi lain membran untuk membentuk air. Penumpukan serangkaian pasangan membran-katalis seperti ini, atau disebut "sel", bisa melipatgandakan tegangan.
Sistem ini telah berhasil membawa Gemini memutari Bumi tahun 1960-an. Hanya saja, untuk aplikasi komersial seperti mobil, misalnya, sistem ini masih terlalu mahal dan terlalu besar. Pengembangan pun dilakukan. Misalnya di akhir tahun 1980-an para peneliti di Los Alamos National Laboratory berhasil mengurangi pemakaian platinum sampai 90%. Ballard juga sukses meningkatkan densitas daya dengan menjaga membran basah tapi tidak kuyup dan menyempurnakan pemipaan yang mengalirkan hidrogen, oksigen, dan air di dalam rangkaian sel tadi.
Dua tahun lalu Ballard telah melewati batas minimum densitas daya bagi keperluan automobil – 1.000 watt per liter – melalui rangkaian sel Mark 700, dua di antaranya dipakai untuk menggerakkan Commander II. Rangkaian sel Marks 900 diluncurkan awal tahun ini, menghasilkan 1.350 watt per liter. "Kerapatan daya sebesar itulah yang praktis bagi kendaraan saat ini," kata Paul Lancaster, direktur keuangan Ballard.
Metanol masih berbahaya
Tantangan utama Ballard adalah membuat rangkaian sel lebih murah. Salah satu cara, selain berkongsi dengan Ford dan DaimlerChrysler untuk mengoptimalkan rancangan rangkaian sel tadi, Ballard juga mengomersialisasikan fuel cell dengan mengaplikasikan pada beberapa alat; tidak hanya untuk kendaraan, tapi juga generator portabel, generator rumahan, dan pembangkit listrik tetap.
Sementara itu, DaimlerChrysler and Ford memusatkan pada pembuatan bagian lain dari mobil. Kendala terberat mereka adalah menjaga suplai hidrogen ke rangkaian. "Persoalan fuel cell adalah persoalan bahan bakar. Sudah bukan persoalan fuel cell lagi," kata Mohsen Shabana, manajer program kendaraan fuel cell di bagian rekayasa teknik DaimlerChrysler di Rochester Hills, Michigan.
Ada tiga macam bahan bakar yang dipertimbangkan: bensin, metanol, dan hidrogen. Jika dipakai bensin, soal ketersediaan tidak masalah. Bensin ada di mana-mana. Akan tetapi sulit menyuling hidrogen dari bensin di atas kendaraan. Proses itu biasa dilakukan oleh pabrik kimia maupun penyulingan minyak. Memindahkan ke bawah kap bukan perkara mudah. Belum adanya sulfur yang bisa mengancam fuel cell.
DaimlerChrysler pun mencoba mengembangkan sistem metanol. Beberapa fuel cell langsung berjalan menggunakan metanol dibandingkan dengan hidrogen. Metanol menjadi target yang lebih gampang dibandingkan dengan bensin sebab bebas sulfur dan hidrogen yang dihasilkan secara relatif berada di pertengahan 300o C. Akan tetapi menyuling metanol masih menjadi proses rumit yang membutuhkan banyak tahapan, masing-masing harus diberi tempat sendiri dan pada temperatur khusus.
Selain itu, untuk memanaskan prosesor yang besar memerlukan waktu lama karena menggunakan uap. Persoalan ini diatasi dengan menerapkan katalis sebagai pengganti uap. Sayangnya, "Sistem ini begitu rumit, dan perlu banyak komputer untuk saling berbicara," kata Bruce Kopf, direktur TH!NK Technologies, perusahaan mobil listrik milik Ford. "Tidak banyak orang yang bisa membuat sistem ini jalan."
Hal lain yang menjadi kendala bagi metanol adalah sifat kimianya. Metanol merupakan bahan yang berbahaya – bisa berakibat fatal jika masuk perut. Sifatnya yang larut dalam air membuat metanol menjadi ancaman bagi reservoar air bawah tanah. Ketika bau kimia tercium di air minum di kawasan Kalifornia, buru-buru perusahaan minyak mengeluarkan aditif bahan bakar berbasis metanol methyl tertiary butyl ether (MTBE) dari bensin hasil olahan mereka.
Pipa saluran masa depan
Solusi paling jelas, tentu saja, menggunakan hidrogen langsung sebagai bahan bakar. Apalagi jika dilihat dari kemampuannya menghasilkan energi per berat yang lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar lain. Jika dibandingkan dengan bensin misalnya, energi per berat yang dihasilkan hidrogen tiga kali lipat. Hanya saja, masih sulit untuk memasukkan gas energetik ini ke dalam tanki bahan bakar. Selain itu, hidrogen termasuk gas yang mudah terbakar. Ingat kasus Hindenburg?
Toh masih ada celah. DaimlerChrysler, misalnya, menggunakan tanki hidrogen cair. Sayangnya, teknologi cyrogenic untuk menyimpan bahan bakar pada temperatur –253o C (hanya 20 derajat di atas nol absolut) masih menjadi mainan peneliti. Lagi pula, beruntunglah Anda menemukan stasiun pengisi hidrogen; hanya ada setengah lusin di seluruh dunia!
Itulah yang menjadi tantangan Graham Batcheler, presiden Texaco Energy System di Houston. Ia percaya fuel cell akan menggantikan mesin pembakaran internal (internal combustion engine). Maka perusahaannya tak ragu lagi untuk berinvestasi dalam teknologi yang bisa memudahkan hidrogen ditangkikan.
Salah satu kemungkinan adalah dengan pemampatan. Dengan tangki yang lebih kuat hidrogen dimampatkan sampai tekanan yang lebih besar. Bisa juga dengan mendesain ulang kerangka kendaraan yang dapat menampung tangki lebih besar tanpa kehilangan kinerjanya. Pilihan lain adalah dengan mengepak material yang mengikat hidrogen ke dalam tangki. Serat grafit dengan struktur nano yang ruwet, sebagai contoh, telah menunjukkan kemampuannya menyerap lebih dari 20% hidrogen per berat.
Ballard, DaimlerChrysler, dan Ford akan menguji coba teknologi mereka tahun depan di Kalifornia. Ford dan DaimlerChrysler bahkan berjanji akan melempar ke pasar mobil fuel cell tahun 2004. Walaupun mereka tahu akan kehilangan uang untuk proyek itu. Tapi Kopf menyatakan, selalu ada kemungkinan bahwa teknologi akan segera melunasi (investasi yang telah ditanamkan) lebih cepat dari yang diharapkan. Ketidakstabilan di Timur Tengah, misalnya, bisa memompa harga bensin sampai AS $ 5 per galon.
Proyek ini memang jangka panjang. Fuel cell menjanjikan mobil yang berkelanjutan (sustainable), memangkas polusi, dan membebaskannya dari politik minyak. Daya tarik yang besar adalah, "Janji emisi gas buang yang nol, secara potensi tidak mengeluarkan gas emisi rumah kaca dan tidak menimbulkan ketergantungan energi," kata Kopf. "Itu merupakan mantra suci industri otomotif."
Juergen Schrempp, direktur DaimlerChrysler, sendiri secara pribadi membela kredit bagi program fuel cell senilai AS $ 1 miliar sebagai "pipa saluran masa depan." World Engineers Convention pun menelurkan sikap, "Kita semua berbagi tanggung jawab untuk menyelesaikan proyek ini, karena menerima tanggung jawab adalah bagian dari martabat umat manusia."
(TR/Yds - www.indomedia.com/intisari)